Lingkungan
belajar dapat diciptakan sedemikian rupa, sehingga dapat memfasilitasi anak
dalam melaksanakan kegiatan belajar. Lingkungan belajar dapat merefleksikan
ekspektasi yang tinggi bagi kesuksesan seluruh anak secara individual. Dengan
demikian, lingkungan belajar merupakan situasi yang direkayasa oleh guru agar
proses pembelajaran dapat berlangsung secara efektif. Menurut Saroni (2006) dalam
Kusmoro (2008), lingkungan pembelajaran terdiri atas dua hal utama, yaitu
lingkungan fisik dan lingkungan sosial.
Lingkungan
fisik dalam hal ini adalah lingkungan yang ada disekitar siswa belajar berupa
sarana fisik baik yang ada dilingkup sekolah, dalam hal ini dalam ruang
kelas belajar di sekolah. Lingkungan fisik dapat berupa sarana dan prasarana
kelas, pencahayaan, pengudaraan, pewarnaan, alat/media belajar, pajangan serta
penataannya. Sedangkan lingkungan sosial merupakan pola interaksi yang terjadi
dalam proses pembelajaran. Interaksi yang dimaksud adalah interkasi antar siswa
dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan sumber belajar, dan lain
sebagainya. Dalam hal ini, lingkungan sosial yang baik memungkinkan adanya
interkasi yang proporsional antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran.
Menurut
Mulyasa (2006), dalam upaya menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif
bagi anak, guru harus dapat memberikan kemudahan belajar kepada siswa,
menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai, menyampaikan
materi pembelajaran, dan strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar.
Oleh karena itu, peran guru selayaknya membiasakan pengaturan peran dan
tanggung jawab bagi setiap anak terhadap terciptanya lingkungan fisik kelas
yang diharapkan dan suasana lingkungan sosial kelas yang menjadikan proses
pembelajaran dapat berlangsung secara bermakna. Dengan terciptanya tanggung
jawab bersama antara anak dan guru, maka akan tercipta situasi pembelajaran
yang kondusif dan bersinergi bagi semua anak (Kusmoro, 2008).
Desain
Lingkungan fisik
Dalam
manajemen kelas efektif, lingkungan fisik merupakan faktor yang sangat penting.
Oleh Karena itu, lingkungan fisik harus dapat didesain secara baik dan lebih
dari sekedar penataan barang-barang di kelas. Menurut Everston et al. (2003) dalam
Santrock (2008), terdapat empat prinsip yang dapat dipakai dalam menata kelas,
yaitu:
- Kurangi kepadatan di tempat lalu lalang. Daerah ini antara lain area belajar kelompok, bangku siswa, meja guru, dan lokasi penyimpanan alat tulis, rak buku, computer dan lokasi lainnya. Area-area harus dapat dipisahkan sejauh mungkin dan dipastikan mudah diakses, karena gangguan dapat terjadi pada daerah yang sering dilewati.
- Pastikan bahwa Guru dapat dengan mudah melihat semua anak. Sebagai manajer kelas, guru penting untuk memonitor anak secara cermat. Pastikan ada jarak pandang yang jelas dari meja guru, lokasi instruksional, meja anak, dan semua anak.
- Materi Pengajaran dan Perlengkapan anak harus mudah diakses. Hal ini akan meminimalkan waktu persiapan dan perapian, serta mengurangi kelambatan dan gangguan aktivitas.
- Pastikan siswa dapat dengan mudah melihat semua presentasi kelas. Tentukan di mana anda dan siswa anda akan berada saat presentasi kelas diadakan. Pada aktivitas ini, anak tidak boleh memindahkan kursi atau menjulurkan lehernya.
Dalam
mengorganisasikan ruang fisik kelas, juga sangat ditentukan oleh tipe aktivitas
pembelajaran yang direncanakan untuk dilaksanakan oleh anak. Dalam hal ini,
perbedaan level kelas, kecepatan materi antar kelas, aktivitas kelompok dan
aktivitas individual harus dapat terakomodasi secara fleksibel dalam penataan
lingkungan fisik kelas. Menurut Renne (2007) dalam Santrock (2008),
penataan kelas standar dapat dilakukan dalam lima gaya penataan, yaitu
auditorium, tatap-muka, off-set, seminar, dan klaster.
- Gaya auditorium, gaya susunan kelas di mana semua siswa duduk menghadap guru.
- Gaya tatap muka, gaya susunan kelas di mana siswa saling menghadap.
- Gaya off-set, gaya susunan kelas di mana sejumlah siswa (biasanya tiga atau empat anak) duduk di bangku, tetapi tidak duduk berhadapan langsung satu sama lain.
- Gaya seminar, gaya susunan kelas di mana sejumlah besar siswa (sepuluh atau lebih) duduk disusunan berbentuk lingkaran, atau persegi, atau bentuk U.
- Gaya klaster, gaya susunan kelas di mana sejumlah siswa (biasanya empat sampai delapan anak) bekerja dalam kelompok kecil.
Penataan
susunan meja yang mengelompok dapat mendorong interaksi sosial di antara siswa.
Sedangkan susunan meja yang berbentuk lajur akan mengurangi interaksi sosial di
antara siswa dan mengarahkan perhatian siswa kepada guru. penataan meja dalam
lajur-lajur dapat bermanfaat bagi anak pada saat mengerjakan tugas individu,
sedangkan meja yang disusun mengelompok akan membantu proses belajar kooperatif
(Santrock, 2008).
Menurut
Weinstein dan Mignano (1997) dalam santrock (2008), kelas juga penting
untuk dilakukan personalisasi, meskipun bagi sekolah yang menggunakan sistem moving
class terdapat beberapa kelas yang belajar dalam satu hari. Personalisasi
kelas dapat dilakukan dengan memasang foto siswa, karya siswa, tugas, diagram
tanggal lahir siswa (SD), ekspresi siswa yang positif serta media pembelajaran
yang berhubungan dengan materi yang sedang dipelajari anak. Personalisasi ini,
dapat bermanfaat sebagai inspirasi dan motivasi untuk belajar bagi anak serta
dapat menjadi sumber belajar bagi anak. Selain itu, modifikasi pajangan dinding
yang up to date dapat memberikan kesan dinamisasi lingkungan, anak
mendapatkan objek pandang yang senantiasa bermakna bagi proses belajar.
Pengelolaan
kelas yang positif untuk pembelajaran
Dalam rangka
memaksimalkan proses pembelajaran, anak memerlukan lingkungan positif. Untuk
menciptakan lingkungan positif diperlukan strategi manajemen kelas, dan
strategi positif untuk membuat anak mau bekerja sama. Menurut Santrock (2008),
strategi umum manajemen kelas untuk menciptakan lingkungan positif bagi anak
mencakup penggunaan gaya otoritatif dan manajemen kelas secara efektif.
Gaya
manajemen kelas otoritatif berasal dari gaya parenting, di mana guru yang
otoritatif akan mempunyai siswa yang cenderung mandiri, tidak cepat puas, mau
bekerja sama dengan teman, dan menunjukkan penghargaan diri yang tinggi.
Strategi manajemen kelas otoritatif, mendorong siswa untuk menjadi pemikir yang
independen dan pelaku yang independen, tetapi strategi ini masih menggunakan
sedikit monitoring siswa. Guru otoritatif akan menjelaskan aturan, regulasi
dan menentukan standar dengan masukan dari siswa. Gaya otoritatif
bertentangan dengan gaya otoritarian dan permisif yang tidak efektif.
Gaya
manajemen kelas otoritarian fokus utamanya adalah menjaga ketertiban di kelas,
bukan pada pengajaran dan pembelajaran. Guru otoriter sangat mengekang dan
mengontrol perilaku siswa, sehingga siswa di kelas cenderung pasif, tidak
berinisiatif dalam aktivitas, memiliki keterampilan komunikasi yang buruk.
Sedangkan gaya manajemen kelas yang permisif, memberi banyak otonomi pada siswa
tapi tidak memberi banyak dukungan untuk pengembangan keahlian pembelajaran
atau pengelolaan perilaku. Siswa di kelas permisif, cenderung punya keahlian
akademik yang tidak memadai dan control diri yang rendah.
Manajemen
kelas secara efektif adalah upaya yang dilakukan guru dalam mengelola aktivitas
kelas secara efektif. Menurut Santrock (2008), Guru efektif berbeda dengan guru
yang tidak efektif bukan dalam cara merespon perilaku menyimpang siswa, tetapi
berbeda dalam cara mereka mengelola aktivitas kelompok secara kompeten. Guru
yang berperan sebagai manajer kelas yang efektif senantiasa mengikuti apa yang
terjadi, selalu memonitor siswa secara regular, sehingga dapat mendeteksi
perilaku yang salah jauh sebelum perilaku itu lepas kendali. Guru yang efektif
mampu mengatasi situasi yang over-lapping secara efektif, menjaga
kelancaran dan kontuinitas pelajaran, serta melibatkan siswa dalam berbagai
aktivitas yang menantang.
Agar proses
pembelajaran dapat berjalan lancar, maka kelas perlu punya aturan dan prosedur
yang jelas. Tanpa aturan dan prosedur yang jelas, bisa memunculkan
kesalahpahaman yang bisa melahirkan kekacauan. Aturan dan prosedur adalah
pernyataan ekspektasi tentang perilaku. Aturan fokus pada ekspektasi umum atau
spesifik atau standar perilaku, cenderung tidak berubah karena mengatur
dasar-dasar tindakan terhadap orang lain, diri sendiri dan tugas, seperti
menghargai orang lain, tidak mengunyah permen karet di kelas. Sedangkan
prosedur berisi tentang ekspektasi tentang perilaku namun biasanya diterapkan
untuk aktivitas spesifik dan diarahkan untuk mencapai suatu tujuan, bukan untuk
melarang suatu perilaku. Prosedur dimungkinkan untuk bisa berubah karena
rutinitas atau aktivitas kelas bisa berubah, misalnya prosedur suatu kelas
menyatakan bahwa setelah masuk kelas siswa harus mengerjakan suatu soal, akan
tetapi suatu hari guru bisa mengubahnya dengan membolehkan siswa menyelesaikan
tugas yang belum selesai.
Pembuatan
aturan dan prosedur dapat dirumuskan oleh guru dan dijelaskan ke siswa, namun
guru dapat pula melibatkan siswa dalam merumuskan aturan dan prosedur kelas
untuk menanamkan rasa tanggung jawab siswa terhadap aturan dan prosedur. Proses
ini dapat menjadi sarana untuk menjalin hubungan yang positif dengan siswa dan
melatih mereka untuk berbagi dan mengemban tanggung jawab.
Upaya
menciptakan lingkungan positif bagi siswa dapat pula dilakukan dengan
memberikan hadiah terhadap perlaku yang tepat. Untuk pemberian imbalan dalam
mengelola kelas, guru harus dapat memilih penguat yang efektif, menggunakan
prompt dan shapping secara efektif. Menggunakan imbalan yang mengandung
informasi tentang kemampuan siswa yang bisa meningkatkan motivasi intrinsik dan
rasa tanggung jawab siswa, bukan untuk mengontrol perilaku.
Menurut Naim
(2009), ada dua aspek penting yang perlu dikembangkan oleh seorang guru
sehingga mampu menciptakan pembelajaran yang kondusif bagi siswa, yaitu pribadi
guru dan suasana pembelajaran. Perpaduan kedua aspek tersebut akan menjadikan
dimensi inspiratif semakin menemukan momentum untuk mengkristal dan membangun
energi perubahan positif dalam diri siswa. Kepribadian guru sebagai orang
dewasa dapat menjadi model sekaligus pengarah dan fasilitator belajar yang
tercermin dari suasana atau iklim pembelajaran yang diciptakan di dalam kelas.
Kedua aspek ini, pada gilirannya akan mampu mengakumulasi potensi diri para
siswa untuk semakin meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya.
0 komentar:
Posting Komentar